Jumat, 19 Februari 2010

Sekolah, Penjara atau Rumah yang Kedua

Marjohan M.Pd
Pakar Pendidikan


Apakah sekolah adalah penjara atau rumah kedua bagi murid? Kuncinya terletak dalam komunikasi. Ada pituah Minang- filsafat tua- yang masih sering diucapkan orang dalam pergaulan yang berbunyi: hewan diikiek jo tali, manuisia diikek jo kato-kato, artinya hewan diikat dengan tali, manusia diikat dengan kata-kata. Atau ungkapan lain seperti; jagalah mulut mu, harimau mu, yang akan menerkam dirimu. Begitu pula dengan ungkapan dalam agama kita (agama Islam) yang mengatakan bahwa yang lebih tajam dalam kehidupan ini adalah pena dan lidah.

Kata-kata, mulut, lidah dan pena semuanya adalah sarana untuk berkomunikasi. Memang komunikasi dalam hidup sungguh sangat penting bagi semua makhluk, terutama bagi manusia. Nilai atau kualitas komunikasi anatara dua orang, dua kelompok, dua instansi atau dua bangsa- pengirim dan penerima komunikasi- menentukan kualitas hubungan mereka, apakah cenderung menjadi baik atau buruk, harmonis atau kurang harmonis, patah hati atau bergembira, dan seterusnya.

Hidup dan aktivitas manusia memang diwarnai dengan gaya berkomunikasi. Sepasang remaja bisa jatuh cinta karena diawali oleh komunikasi. Suami- istri yang terancam perceraian disebabkan oleh jeleknya kualitas komunikasi mereka. Unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh pabrik, atau karyawan suatu perusahaan adalah bisa disebabkan oleh kualitas komunikasi. Dan perdamaian dua negara yang bertikai dapat terlaksana oleh peran komunikasi.

Dunia pendidikan yakni sekolah, juga diwarnai oleh kualitas komunikasi. Sering kualitas komunikasi dapat menjadi penentu keadaan suasana atau iklim sosial di sekolah disebabkan oleh gaya dan cara berkomunikasi pimpinan pada bawahanya, dan cara berkomunikasi mayoritas guru-guru pada anak didiknya.

Gaya berkomunikasi yang dilakukan oleh seorang pemimpin, orang tua, guru, dan seseorang pada locutor (teman berbicara) apalagi pada bawahannya ada dua macam yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah adalah komunikasi yang datang dari atasan, pimpinan, pada bawahan, karyawan, atau guru pada anak didiknya. Komunikasi seperti ini cendrung dalam bentuk memberii perintah, arahan dan nasehat. Bentuk komunikasi yang begini cukup bagus, effisien- hemat waktu- kalau jelas dan menyenangkan hati penerima. Namun kalau bentuk komunikasi satu arah ini dipakai oleh seseorang, sudah menjadi gaya hidupnya, akan membuat penerima pesan menjadi gerah dan bosan.

Komunikasi satu arah pada satu keluarga akan mewarnai suasana rumah seperti neraka dunia, sepi, gersang dan membosankan. Ayah memonopoli hak bersuara dan yang lain harus dan terpaksa mendengar dan mematuhinya. Dapat diyakini bahwa oknum atau pemberi komunikasi yang begini berkarakter otoriter, demam berkuasa, jaga image, atau karena seribu alasan lain.

Komunikasi dua arah, komunikasi yang berlangsungdan setara antara karyawan dengan pimpinan, presiden dengan rakyat, guru dengan anak didik, dan orang tua dengan anak, tentu akan memberiikan suasana yang demokrasi. Rumah tangga atau sekolah yang diwarnai dengan komunikasi dua arah/ demokrasi begini, tentu dapat membuat warganya merasa betah dan nyaman hidup di dalamnya.

Bahasa sebagai sarana dalam berkomunikasi mempunyai fungsi sebagai interactional dan directional. Fungsi bahasa sebagai interactional berarti sebagai sarana untuk berbagi ide/ opini, dan perasaan yang disampaikan dalam dua arah yaitu sender dan receiver- pengirim pesan dan penerima pesan. Sementara peran bahasa sebagai sarana directional yaitu untuk menyampaikan ide/ opini, dan perasaan dalam bentuk satu arah. Mungkin dalam bentuk permintaan, dan larangan. Ke dua dua fungsi bahasa ini terpakai dalam kehidupan secara berimbang.

Kualitas berkomunikasi seseorang ditentukan oleh pola atau gaya berkomunikasinya. Kalau di rumah, apakah orang tua berkomunikasi dengan gaya satu arah, atau lebih dominan gaya berkomunikasi dua arah. Komunikasi satu arah dalam rumah tangga dapat digambarkan sebagai kebiasaan orang tua yang banyak memberi perintah, melarang, menghardik dan mengomel sendirian ke arah anak.

Mayoritas, dari fenomena sosial, ditemui bahwa banyak anak-anak yang suka membisu walau mereka berkumpul bareng-bareng dengan teman sebaya. Hal ini disebabkan karena mereka punya kesulitan dalam mengekspresikan fikiran, idea atau opini dalam berdialog. Ini bisa sebagai pertanda bahwa pola komunikasi mereka di rumah cenderung lebih dimonopoli oleh orang tua atau oleh orang dewasa lainnya. Anak kecil mungkin dianggap sebagai anak bawang- makhluk yang tidak perlu banyak tahu dan banyak ngomong. Dan ini adalah efek jangka panjang dari rumah tangga dengan gaya komunikasi satu arah, bukan ?

Ada harapan bahwa kekurangan dan kesulitan anak dalam berkomunikasi- mengekspresikan fikiran dan perasaan akibat pola didikan di rumah yang kurang berhasil dalam menumbuh kembangkan kognitif, afektif dan psikomotorik anak dalam berkomunikasi akan dapat diatasi oleh bimbingan, bantuan, didikan, melalui sekolah/ guru-guru. Namun bagaimana realitanya?

Pada saat jam PBM (Proses Belajar Mengajar) kita dapat menemukan banyak anak-anak sekolah (SMP, SMA, MAN atau SMK), siswa sekolah negeri atau swasta yang keluyuran di jalan-jalan kota, juga di jalan-jalan di kota kecil dan kecamatan, menyerbu tempat untuk rileks- play station, internet atau kafe untuk makan , minum dan menghisap rokok- karena merokok juga menjadi gaya hidup mereka, mungkin terinspirasi oleh guru perokok di sekolah dan karena iklan rokok yang memang sudah melimpah ruah. Untuk di kota, sekolah musti berterima kasih pada keberadaan satpol PP untuk menjaring anak didik yang keluyuran saat PBM. Namun bagaimana untuk anak didik yang pemalas- suka keluyuran, yang tidak dapat dijangkau oleh Satpol PP, apakah mungkin tidak perlu dijaring?

Kenapa mereka membolos dari sekolah. Ini tentu dapat ditelusuri penyebabnya. Penyebab utama adalah karena mereka memiliki motivasi belajar, minat belajar dan semangat belajar yang sangat rendah. Mereka beranggapan bahwa tidak ada gunanya bersekolah kecuali sebagai penjara dan tempat yang sangat menyiksa. Penyebab yang lain adalah karena faktor komunikasi dari pihak sekolah yaitu dengan sekolah- guru, kepala sekolah, pengawas sekolah dan komite sekolah tidak ada atau kurang menarik. Mungkin gaya berkomunikasi guru-guru kurang pas dengan harga diri mereka, mungkin mereka sering dihardik, kena marah oleh guru, guru menghakimi siswa dan sampai kepada gaya guru yang menjaga jarak atau malas berkomunikasi dengan anak didk yang sudah terlancur dianggap sebagai anak bandel dan pemalas.

Sementara itu semua siswa yang kurang beruntung dalam hidup dan terlahir ke dunia sebagai anak dengan motivasi dan minat belajar yang rendah tetap membutuhkan gaya berkomunikasi guru dan orang dewasa yang berkualitas. Mereka membutuhkan komunikasi dua arah dan plus sentuhan jiwa- sentuhan psikologi dan paedagogik untuk membangkitkan semangat hidup mereka- yang sempat hilang dalam pengalaman hidup mereka. Orang bijak mengatakan bahwa anak nakal akibat motivasi hidup yang rendah mengalami penyakit skin hunger yaitu kulit yang haus disentuh oleh sosok orang tua dan guru dengan penuh kasih sayang.

Sungguh beruntung siswa-siwa yang ceria dan bersemangat dalam belajar, akibat terlahir dari rumah dan lingkungan yang hangat dan selalu mendorong dan memelihara motivasi serta semangat belajar mereka. Mereka adalah anak didik yang tumbuh dan berkembang melalui komunikasi yang hangat- memperoleh banyak penghargaan, menjadi anak didik yang punya harga diri. Apalagi bagi mereka yang diberi kesempatan untuk banyak mencoba- bekerja, belajar dan mengembangkan hobi. Anak-anak yang terkondisi dengan pola komunikasi yang bagus di rumah dalam realita akan memperoleh sosial applause- tepuk tangan sosial oleh guru-guru mereka di sekolah. Mereka memperoleh keberuntungan berganda- motivasi belajar tinggi, semangat dan minat belajar tinggi, penghargaan dan pelayanan yang diberikan oleh guru juga tinggi.

Di kelas-kelas, atau di sekolah-sekolah dengan PBM yang bersemangat akan dijumpai iklim belajar/ iklim sekolah yang menyenangkan. Semua siswa menghias dan merawat kelas dengan senang hati, karena di sanalah istana atau rumah ke dua mereka untuk menuntut ilmu dan tempat bersenang-senang bersama pengetahuan baru, karena belajar tanpa tekanan. Ditemani dan dibiming oleh guru yang ramah-ramah- menebarkan senyum dan kehangatan pada mereka setiap saat. Dalam berbicara selalu memilih kosa kata dan konteks yang hangat sehingga menyenangkan hati anak didik.

Namun jumlah sekolah dan kelas kelas yang hangat begini tidak banyak, tidak sebanyak populasi sekolah tadisionil yang berdiri di pelosok persada ini. Di sana siswa belajar dengan fasilitas minim, iklim atau suasana sekolah yang membosankan karena miskin komunikasi- guru guru mengurung diri dalam ruangan majelis guru sebagai menara gading- menjauhi diri untuk berkomunikasi, kecuali berbicara hanya seperlunya saja , misalnya untuk menyampaikan instruksi demi instruksi, larangan dan ancaman "awas kalau tugas rumah tidak selesai, kamu akan memperoleh angka mati, kalau buku tidak disampul tidak akan diterima, ,kalau kamu terlambat harus berdiri kaki itik atau push-up sepuluh kali didepan, mencontek selama ujian kertas akan saya robek, membolos tiga kali kamu dipulangkan ke orang tua mu!Kalau guru mu tidak datang belajarlah di perpustakaan". Beginilah kira-kira isi dan warna komunikasi satu arah dari kebanyakan sekolah-sekolah tradisional.

Sekolah-sekolah yang siswanya merupakan kumpulan dari anak-nak yang memiliki motivasi dan semangat belajar rendah cenderung membuat suasana sekolah juga kurang bergairah, sehingga guru-guru juga kehilangan gairah untuk mengajar. Mereka mengajar hanya asal membayar tugas saja atau hanya untuk memacu target kurikulum. Agar ini terlaksana maka mereka memasang wajah angker dan gaya berkomunikasi yang keras- kadang kala kurang ramah. Mereka punya assumsi bahwa menghadapi siswa pemalas- bermotivasi belajar rendah- kalau dengan ramah tamah dan lembut tidak berguna, akan dibawa lalu saja. Karena bahasa dan perilaku keras adalah konsumsi mereka sehari-hari dari rumah dan dilanjutkan oleh guru di sekolah, apakah memang betul demikian?!

Dalam pengalaman hidup, banyak orang orang yang kurang beruntung saat belajar di bangku SD sampai bangku SMP dan SLTA tetapi menjadi sukses menyatakan bahwa mereka bisa demikian- jadi bangkit dari kemalasan, kelengahan dalam hidup- adalah karena peranan guru yang punya budi bahasa baik saat di bangku SLTA dulu. Sentuhan yang mereka berikan lewat komunikasi yang kebapakan atau keibuan pada anak didiknya- pada siswa yang bermasalah dalam belajar- bias membuat nya bangkit dan bergairah dalam hidup. Komunikasi dilakukan bukan saat PBM, tetapi di luar PBM. Mungkin mereka berjumpa dan ngobrol degan guru di luar sekolah- di jalanan, di rumah guru atau di suatu tempat sehingga terjadilah dialog tanpa menggurui dari hati ke hati.

Bila ada banyak guru yang bisa berbuat hal yang sama terhadap anak didik mereka, melowongkan waktu tidak hanya terbatas selama saat PBM maka tentu akan lebih banyak lagi siswa yang bangkit dari tidur panjang- motivasi dan semangat belajar yang rendah. Sekolah dengan guru-guru yang commit untuk melayani anak didik mereka dengan prima, bahasa yang lembut, santun dan berahabat, komunikasi dua arah, memberi mereka simpatik, dan tidak banyak marah marah dan mencela, maka sekolah demikian bisa menjadi rumah kedua bukan?! Komunikasi yang kurang berkualitas- dengan gaya otoriter dan menghakimi anak didik, ditambah beban belajar yang dipaksakan, akan membuat sekolah ibarat penjara dan sebaliknya, sekolah dengan guru guru yang bertutur bahasa sejuk dan menyentuh, memahami anak didik dan memberi pendikan dan pelayanan yang prima akan membuat anak betah di sekolah dan merasakan bahwa "sekolah ku adalah istana tempat belajarku."
Diambil dari: www.wikimu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Karya Spanduk dan Twibbon Pakai Coreldraw dalam rangka Hari Pahlawan Tahun 2021

https://twb.nz/haripahlawansman1ciktim