Kemarin ada postingan tentang kisah seorang ikhwan yang sangat ingin berbisnis, dan akhirnya ambil keputusan keluar dari pekerjaan mapan di sebuah perusahaan. Kemudian ia merintis usaha dan seterusnya. Karena kaget dengan iklim usaha atau belum bisa adaptasi dengan beratnya merintis usaha baru, ikhwan ini terpuruk dan banyak hutang, anaknya mulai besar, lalu istrinya yang hamil lagi tidak kuat, dan seterusnya… Finalnya, terjadilah perceraian.
Kisah tragis ini jadi bahan obrolan saya dengan istri saat ngopi di pagi hari, kemarin, ketika sebelumnya istri saya menceritakan postingan temannya di FB. Kebetulan kami punya kondisi serupa dengan cerita di atas, tapi tak sama.
Ada beberapa catatan kami tentang ini.
1. Jangan mudah menjadi ‘korban’ para motivator bisnis.
Mungkin ikhwan dalam cerita ini sangat tersugesti dengan motivasi yang bombastis. Adalah sudah mafhum bagi kebanyakan dari kita, para motivator tersebut kebanyakan memberikan harapan-harapan hiperbolik dengan bercerita tentang kesuksesan-kesuksesan para pelaku bisnis secara berlebihan. Berikut contohnya:
- 5 tahun yang lalu berani meninggalkan posisi manajer di sebuah perusahaan, kemudian membuka usaha sendiri, kini sudah punya lebih dari 100 karyawan.
- Berawal dari dorong gerobak, hanya dalam tempo 2-3 tahun bisa punya 5 cabang dengan omset milyaran rupiah.
- Dan lain sebagainya semacamnya…
Saya tidak menafikan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi, meskipun dalam keterangan ceritanya dilebih-lebihkan dan beberapa sisi disembunyikan.
Motivasi seperti di atas memang sangat mudah menusuk dalam emosi siapa saja yang punya hasrat berwirausaha. Itu adalah bagian dari metode ‘storytelling’, yaitu memasarkan konsep/opini/wacana dengan cerita yang sarat muatan emosional yang membuat obyek bisa masuk dalam alur emosi cerita. Alhasil, banyak orang yang berhasil ‘dicocok hidungnya’ oleh penjual konsep/motivasi sehingga mengikuti seperti yang diinginkan oleh motivator.
Kesimpulannya, jangan hanya menelan manisnya, tapi pahitnya juga kunyah dulu sampai lembut.
2. Motivasi bisnis yang didominasi oleh semangat menjadi bos dan tidak mau diatur orang lain.
Ini juga cukup menjadi tren dalam dunia entrepreneur saat ini. Ini motivasi yang sangat bermasalah. Kenapa? Ya, karena ini sekaligus bisa motivasi orang untuk jadi arogan. Di lapangan, tidak jarang saya bertemu dengan orang-orang yang sangat menghargai status ‘pengusaha’ atau ‘owner’ atau semacamnya, tetapi memandang rendah status ‘pegawai’ atau ‘karyawan’. Mereka rata-rata adalah para penggemar virus entrepreneur. Sehingga kita akan sering dengar dari orang yang hobi ngomong entrepreneur sebuah ungkapan: “Lebih baik jadi bos di usaha sendiri meskipun kecil daripada ikut orang lain meskipun perusahaan besar.”
Beberapa waktu lalu ketika jualan, saya dikomentari anak muda: “Wah, enak ya mas bisa usaha sendiri, tidak lagi diperintah bos.” Lalu saya jawab: “Maaf dik, kalau boleh memilih ya, saya mungkin masih lebih memilih jaga tokonya seorang ulama yang hanif dan diperintah-perintah sama beliau, daripada punya beberapa toko sendiri.”
Kesimpulan di poin ini: menginginkan dan berlatih percaya diri, tetapi metode yang digunakan adalah metode kesombongan.
Ada ungkapan: “Usaha bisa tetap jalan, kita bisa jalan-jalan.”
Coba, kita cermati ungkapan di atas. Ini adalah motivasi untuk bisa jadi orang kaya, pemilik usaha, pensiun muda, punya passive income (uang mengalir terus tanpa kita bekerja), berfoya-foya, bermalas-malasan, jika ingin sesuatu tinggal memerintah anak buah, dan seterusnya. Suatu motivasi yang jauh dari sifat seorang muslim.
3. Motivasi bisnis umumnya lebih mengarah kepada cinta dunia.
Ya, memang demikian kenyataan di lapangan. Mereka yang terjangkit virus entrepreneur ini umumnya karena ingin menjadi orang kaya, ingin menjadi bos (suka memerintah daripada diperintah), ingin bermalas-malasan, ingin bebas dari aturan, ingin pensiun muda, dan sebagainya.
Mungkin mereka juga dimotivasi untuk rajin memberi rajin sedekah, banyak membuka lowongan pekerjaan, dan memberi manfaat bagi banyak orang. Tapi jika kita ‘menyalakan’ hati dan kejujuran kita, maka kita akan merasakan bahwa motivasi tersebut ujung-ujungnya tetap mengarah kepada cinta dunia dan mengumpulkan kekayaan. Kenyataannya, tidak sedikit mereka yang bersedekah kecuali berharap supaya cepat kaya.
4. Motivasi berwirausaha selain karena Allah adalah sia-sia.
Ini poin finalnya. Ketika seseorang merasa kesulitan untuk menjalan ibadah karena aturan di perusahaannya kurang mendukung, lalu ia keluar dari pekerjaannya tersebut. Atau ada yang keluar dari perusahaan karena disitu banyak kemaksiatan yang ia merasa kuatir tidak bisa istiqomah menjaga agamanya. Atau ada yang mengundurkan diri karena ia tidak mau berurusan dengan transaksi riba yang harus ia jalankan karena itu merupakan tugas pada posisinya. Atau karena-karena yang lain yang isinya adalah demi menjaga agamanya. Kemudian ia memilih jalan wirausaha, karena dengan berwirausaha maka ia akan lebih mudah mengendalikan pekerjaannya sendiri, mengatur waktunya sendiri, lebih optimal mendidik keluarganya, dan lebih bisa berlatih sabar dan tawakal. Maka yang demikian ini adalah jauh lebih baik daripada semua pengusaha sesukses apapun tetapi orientasinya hanya berhenti pada mengejar gelar ‘pengusaha’, cinta kekayaan, dan cinta dunia.
Tambahan, sedikit nasehat buat para istri:
Seorang suami dilebihkan haknya oleh Allah bukan karena jumlah rupiah yang diberikannya, tetapi karena TANGGUNG JAWABNYA menafkahi keluarganya.
============
(Ditulis oleh seorang yang lemah yang sedang membangun keromantisan dalam keterbatasan)
Oleh: Hudiya S Hakim
Sumber: http://pengusahamuslim.com/perceraian-berawal-dari-keinginan-berwirausaha-1867
Tidak ada komentar:
Posting Komentar