Konflik antara sains/ilmu pengetahuan (berdasarkan pembuktian eksperimental) dan ilmu-ilmu yang datang dari agama (berdasarkan otoritas dari atas yang tidak boleh dibantah) sudah ratusan tahun yang lalu dialami bangsa Barat. Kita tidak perlu berangkat dari titik nol. Pengalaman Eropa dan Barat seharusnya dapat bermanfaat bagi kita. Namun yang tidak dapat ditawar ialah keharusan mutlak untuk bersikap rendah hati.
Manusia dewasa sadar bahwa kebenaran dan kebaikan itu tidak hanya terdapat dalam rumah kita sendiri. Manusia dewasa pun sadar bahwa tidak mungkin segala perkara itu dapat dicampur aduk dalam satu kuali, dan ada wilayah-wilayah tertentu yang otonom (artinya bebas tidak tergantung pada kemauan kita yang subyektif atau kekuasaan apapun) yang harus kita perhitungkan dan hormati.
Selain itu kita harus paham dengan fungsi, kedudukan, dan kemampuan bahasa manusia. Kita tahu bahwa bahasa manusia sangat terbatas. Tidak mungkin mengekspresikan segala-galanya yang dimaksud oleh gagasan manusia yang amat kompleks, apalagi Wahyu Tuhan. Sesudah sekian abad serba simpang siur berdebat sengit, untunglah di dasawarsa terakhir abad ke-20 muncul seorang filsuf yang amat serius menganalisis dan menempatkan kedudukan serta kemampuan bahasa manusia, termasuk bahasa ilmiah maupun bahasa agama, pada tempatnya yang tepat. Filsuf itu Ludwig Wittgenstein (1889-1951).
Filsuf kelahiran Wina ini mengingatkan kita bahwa dalam semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat amat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam situasi dan lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata damai dalam dunia diplomasi, dalam khotbah, dalam pencegatan polisi lalu lintas tidaklah sama. Maka kita punya bahasa ilmiah, bahasa agama, bahasa anak, bahasa hukum, bahasa preman, bahasa pedagang, dan bermacam-macam lainnya, yang kesemuanya memiliki kandungan arti yang berlainan pula kendatipun kata yang satu dan sama dipakai.
Sesudah Wittgenstein di pertengahan abad ke-20 mengupas permasalahan bahasa mausia secara mendalam, kita tahu bahwa bahasa sains dan ilmu pengetahuan lainlah dengan bahasa Wedha, Alkitab, Al-Qur’an, dan segala bahasa religius. Berabad-abad kita bersengketa mengenai perkara yang sama sekali tidak relevan, seperti teori evolusi Charles Darwin yang dipertentangkan dengan bahasa Alkitab yang berbicara tentang penciptaan bumi langit dalam tujuh hari. Itu sama sekali tidak perlu dipertentangkan. Sudah lama kita tahu bahwa bahasa puisi lain daripada bahasa sehari-hari, akan tetapi dalam banyak hal yang sebetulnya sederhana antara bahasa religius dan bahasa ilmu pengetahuan bangsa manusia bersengketa selama sekian abad.
Ilmuwan sejati pada dasarnya gembira bila mengalami dinamika pemajuan, bila misalnya teori yang dulu sekian lama dia anut ternyata disusul oleh teori baru yang terbukti lebih benar dan meyakinkan. Biarpun banyak keyakinan lama terpaksa dibongkar, dan sering meminta korban perasaan bahkan gengsi, tetapi toh jiwa ilmiahnya bersyukur. Dunia ilmuwan tidak pernah main mutlak-mutlakan. Kalangan ilmuwan tinggi selalu dihirupi udara persahabatan murni dan iklim tim kerja sama yang sangat menghargai pendapat lawan; Diskusi, dialektik, brainstorming.
http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/25/bahasa-sains-dan-agama/
الخميس، 25 فبراير 2010
الاشتراك في:
تعليقات الرسالة (Atom)
Karya Spanduk dan Twibbon Pakai Coreldraw dalam rangka Hari Pahlawan Tahun 2021
https://twb.nz/haripahlawansman1ciktim
-
nah buat anak AHM atau astra honda motor ini dia yang suka kita nyanyiin,, MARS AHM berikkut liriknya.. MARS AHM Ciptaan : Kristan...
-
Fungsi artistic media tool pada corel draw ternyata sangat membantu dalam penambahan konten desain meskipun hanya default dari Corel itu s...
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق